COGNITIVE-BEHAVIOR THERAPY TO IMPROVE SELF

COGNITIVE-BEHAVIOR THERAPY TO IMPROVE SELF (PDF)

2022 • 13 Pages • 4.07 MB • English
Posted June 30, 2022 • Submitted by pdf.user

Visit PDF download

Download PDF To download page

Summary of COGNITIVE-BEHAVIOR THERAPY TO IMPROVE SELF

Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 404 COGNITIVE-BEHAVIOR THERAPY TO IMPROVE SELF-ESTEEM IN ADOLESCENCE WITH DEPRESSIVE SYMPTOMS 1Naomi Kristiana, 2Ediasri Toto Atmodiwirjo, 3Debora Basaria Tarumanagara University A B S T R A C T Depression is a psychological disturbance that associated with negative affect, such as sadness, despair, loneliness, worry, and restless. Studies have found that depression can be experienced by all ages, including adolescence. It’s importance to treat depression in adolescence as it disable them from functioning in daily activities and reduce quality of life. Depression can be related with low self-esteem in adolescence. Self-esteem reflects a person’s overall evaluation of personal abilities and self-worth or personal value. Whereas, low self- esteem has been seen as individuals’ ilogical and negative overall view of one’s own competence and worth. Evidence in research supports that low self-esteem in adolescence predicts negative future outcomes, for example tendency to easily give up in challenging task, submissive, pessimist, and even withdraw from social life. These cognitive distortions, making it an important focus for Cognitive-Behavior Therapy (CBT) interventions. The aim of this study is to evaluate how CBT can improve self-esteem in adolescence with depressive symptoms. This study use single-case design, with pretest-posttest measure. The measurements of this study are Self Perception Profile for Adolescents and Children’s Depression Inventory. The finding suggest that CBT is promising to improve self-esteem in adolescence with depressive symptoms. The participant’s improvement in self-esteem has positive correlation with the level of depression. Participant can succesfully practise the techniques which presented in CBT sessions, such as recognizing negative thoughts, cognitive restructuring, relaxation techniques to control negative affect, and problem solving skill to encounter problems in daily life. Keywords: self-esteem, depression, adolescence, cognitive-behavior therapy L A T A R B E L A K A N G Kondisi depresi adalah salah satu gangguan psikologis yang berhubungan dengan afek yang negatif (Ormel, Oldenhinkel, Ferdinand, Hartman, Winter, Veenstra, Vollebergh, Minderaa, Buitelaar, & Verhulst, 2005). Depresi berkaitan dengan perasaan sedih, kesepian, khawatir, dan gelisah, yang terjadi dalam diri seseorang. Depresi yang dialami oleh seorang individu dapat mengakibatkan timbulnya gangguan dalam berbagai aspek fungsi kehidupan, seperti motivasi, emosi atau perasaan, kognitif, tingkah laku, dan kondisi fisik (aspek biologis). Hasil temuan statistik memperlihatkan bahwa sebagian besar individu pasti akan mengalami suatu bentuk depresi tertentu pada suatu saat dalam fase hidup mereka. Kondisi depresi sendiri diprediksikan akan meningkat dengan cepat dan menjadi masalah kesehatan mental tertinggi pada abad ke-21 (Rosenvald, Oei & Schmidt, 2007). Pada tahun 2007, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), sebanyak 94% penduduk Indonesia dari berbagai kelompok usia dan wilayah pernah mengalami kondisi depresi, dari kasus depresi ringan hingga yang berat (Taufiqurrahman, 2007 dalam Arjadi 2012). Bertahun-tahun yang lalu, para ahli tidak mempercayai kemungkinan terjadinya kondisi depresi pada anak-anak, karena anak-anak dianggap tidak memiliki kapasitas kognitif yang mendukung munculnya Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 405 pemikiran yang berhubungan dengan depresi. Pendapat tersebut dapat dipercaya karena anak-anak atau remaja memperlihatkan respon-respon non-depresi saat menghadapi peristiwa kehilangan yang traumatis. Contoh dari respon non-depresi tersebut adalah sikap memberontak, restlessness, dan gejala somatis. Namun, berdasarkan penelitian lebih lanjut diketahui bahwa respon yang diperlihatkan anak tersebut merupakan respon untuk menutupi (masking) kondisi depresi yang dialami anak dan remaja (Kerig & Wenar, 2006). Konsep masked depression yang dikemukakan oleh para ahli mengungkapkan bahwa pada dasarnya kondisi depresi pada anak dan remaja memiliki karakteristik yang sama dengan kondisi depresi pada orang dewasa dan kondisi depresi dapat muncul kapan saja di setiap tahap perkembangan manusia (Kerig & Wenar, 2006). Masked depression yang dialami oleh anak atau remaja tersebut dapat menimbulkan gangguan pada keberfungsian anak dan remaja, sesuai dengan usianya, dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dapat berujung pada perilaku bunuh diri (Mehler-Wex & Kölch, 2008). Tingkat prevalensi timbulnya depresi pada anak-anak dan remaja ditemukan semakin meningkat pada tahun-tahun terakhir, begitu pula dengan yang terjadi di Indonesia. Namun, hingga saat ini belum diketahui secara pasti jumlah remaja di Indonesia yang mengalami kondisi depresi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kondisi depresi pada seorang remaja. Salah satu faktor resiko yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kondisi depresi pada masa remaja berhubungan dengan bagaimana seorang remaja memandang kompetensi hingga keberhargaan dirinya, yang disebut dengan self-esteem. Terbentuknya self-esteem dalam diri seorang remaja merupakan bagian dari bagaimana remaja tersebut membentuk konsep mengenai siapa dirinya dalam berbagai aspek, seperti dalam kompetensi skolastik, kompetensi sosial, kompetensi atletik, penampilan fisik, kompetensi pekerjaan, daya tarik romantis, tingkah laku, pertemanan dekat, dan keberhargaan dirinya secara menyeluruh (Harter, 2012). Self-esteem pada diri seseorang dipengaruhi pula oleh pandangan orang lain terhadap dirinya, terutama pandangan dari significant others, seperti orangtua dan teman sebaya (Santrock, 2009). Seorang individu dikatakan memiliki self-esteem yang rendah saat individu tersebut mengevaluasi dan menilai dirinya secara negatif, serta menempatkan nilai-nilai negatif pada diri sendiri. Individu tersebut akan lebih mudah menyerah, mudah menerima kondisi yang terjadi seperti apa adanya, tidak resilient saat menghadapi tantangan, dan bahkan menarik diri. Sebaliknya, self-esteem yang tinggi berhubungan dengan sikap asertif dan kesejahteraan mental remaja. Perkembangan kondisi self-esteem dalam diri seseorang berhubungan dengan pengalaman hidup yang telah dialami sebelumnya. Saat seseorang mengalami pengalaman yang negatif, maka yang akan terbentuk adalah self-esteem yang negatif, dan begitu pula sebaliknya. Selain itu, penerimaan orangtua terhadap remaja juga berkorelasi positif terhadap self-esteem remaja dan begitu pula sebaliknya, penolakan dari orangtua terhadap remaja diasosiasikan dengan self- esteem yang rendah (Ansari & Qureshi, 2013; Santrock, 2012). Berbagai penelitian (Harter, 1999 dalam Parker 2010; Orth et al., 2008; dan Creemers et al., 2012) telah memperlihatkan bagaimana pengaruh dari self-esteem dalam diri remaja dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya kondisi depresi. Self-esteem yang rendah dalam diri seseorang dapat berhubungan dengan timbulnya kondisi depresi, baik secara interpersonal maupun intrapersonal. Secara interpersonal, seseorang dengan self-esteem yang rendah akan berusaha secara berlebihan untuk meminta pengakuan dari orang lain, misalnya dari teman, mengenai keberhargaan dirinya (personal worth). Usaha yang Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 406 berlebihan tersebut akan memperbesar kemungkinan timbulnya penolakan dari orang lain dan pada akhirnya akan meningkatkan timbulnya kondisi depresi. Pandangan lain mengungkapkan bahwa seseorang dengan self-esteem yang rendah juga akan berusaha untuk mencari pembenaran dari orang lain mengenai kekurangan dalam diri mereka sehingga juga meningkatkan timbulnya kondisi depresi. Self-esteem yang rendah juga memungkinkan seseorang untuk menarik diri dari lingkungan sosial dan lebih sensitif terhadap penolakan orang lain sehingga juga dapat menimbulkan kondisi depresi. Secara intrapersonal, seseorang dengan self-esteem yang rendah akan lebih fokus pada kekurangan dalam diri mereka dan cenderung memikirkan kekurangan dalam diri mereka secara berulang-ulang yang pada akhirnya berhubungan dengan kondisi depresi. Seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap kemungkinan terjadinya kondisi depresi pada remaja, maka berbagai penelitian pun telah banyak dilakukan untuk menemukan teknik terapi yang efektif untuk menangani kondisi depresi pada anak dan remaja. teknik terapi yang selama ini telah dianggap efektif dalam mengatasi kondisi depresi, termasuk pada remaja, adalah adalah gabungan antara teknik terapi kognitif dan terapi behavior yang dikenal dengan istilah cognitive behavior therapy (Brent et al., 1997, Butler et al., 2006, dan Weersing et al., 2006). Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan intervensi yang bertujuan untuk memodifikasi pola pikir dan sistem belief seseorang dengan tujuan mengubah perilaku orang tersebut (Alford & Beck, dikutip oleh Beck, 2011). Dalam model kognitif dari kondisi depresi yang dikembangkan Beck, dijelaskan beberapa karakteristik kognitif pada individu yang mengalami depresi, seperti rendahnya perasaan keberhargaan diri (low self- worth), cenderung menyalahkan diri sendiri, melebih-lebihkan tanggung jawab terhadap diri sendiri, dan kecenderungan untuk melarikan diri. Selain itu, terdapat proses kognitif khusus dalam kondisi depresi, yaitu menilai secara berlebihan terhadap aspek negatif dalam pengalaman sehari-hari (Harrington dalam Graham, 2005). Berdasarkan apa yang diungkapkan Beck tersebut, cognitive behavior therapy dinilai lebih efektif untuk diterapkan pada remaja dibandingkan jenis terapi lain karena dapat mengurangi kecenderungan untuk berpikir negatif, sehingga diharapkan nantinya juga akan dapat meningkatkan self- esteem pada remaja yang mengalami gejala depresi. T I N J A U A N P U S T A K A Self-esteem Harter (2003) mendefinisikan self-esteem sebagai suatu evaluasi menyeluruh yang dilakukan oleh seorang individu terhadap keberhargaan atau nilai dirinya sendiri. Self-esteem menggambarkan bagaimana seseorang menerima dan merasa nyaman dengan dirinya sendiri pada berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari. Harter sendiri menjelaskan bahwa dirinya mengembangkan konsep self-esteem berdasarkan ketertarikannya terhadap teori yang dikemukakan oleh William James pada tahun 1892. James (1892 dalam Harter, 2003) menyebutkan bahwa self-esteem terbentuk berdasarkan seberapa kuat penilaian seseorang terhadap berbagai domain yang dianggap penting dalam kehidupan seseorang. Dengan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh James tersebut, Harter selanjutnya menemukan beberapa domain yang dianggap penting bagi seorang remaja, dan memiliki pengaruh terhadap perkembangan self- esteem. Harter (2012) melihat self-esteem berkaitan dengan bagaimana persepsi seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki dalam setiap aspek kehidupannya. Seorang individu akan selalu memberikan penilaian yang berkaitan dengan kemampuan yang mereka miliki dalam berbagai aspek kehidupannya, yang pada Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 407 akhirnya memengaruhi kondisi self-esteem seseorang secara keseluruhan. Harter membedakan antara evaluasi diri yang mencerminkan karakteristik global dari individu (“aku adalah orang yang berharga”) dan evaluasi terhadap domain-domain khusus, seperti pada kompetensi kognitif (“aku pintar”), kompetensi sosial (“aku disukai teman-temanku”), dan berbagai domain lainnya. Hal ini dapat menggambarkan domain mana yang dipersepsikan rendah atau tinggi serta bagaimana hasil evaluasi seseorang secara keseluruhan mengenai dirinya. Berdasarkan pemikirannya tersebut, Harter (2012) mengembangkan alat ukur self perception for adolescents yang terdiri dari sembilan domain, yaitu kompetensi skolastik, kompetensi sosial, kompetensi atletik, penampilan fisik, kompetensi pekerjaan, daya tarik romantis, tingkah laku, pertemanan dekat, dan global self-worth. Alat ukur tersebut akan dapat menggambarkan domain mana yang sangat memengaruhi kondisi self-esteem seorang individu. Sebagai contoh, Harter menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara bagaimana seseorang mempersepsikan penampilan fisiknya dengan tingkat self-esteem yang terbentuk dalam diri orang tersebut. Saat seorang individu menilai penampilan dirinya secara positif, maka individu tersebut juga memiliki self-esteem yang tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Banyak penulis yang membedakan karakteristik self-esteem ke dalam dua kategori, yaitu self-esteem tinggi (high self-esteem) dan self-esteem rendah (low self-esteem). Seseorang dengan self-esteem cukup tinggi, menyadari kualitas diri mereka sendiri dengan baik. Mereka berpikir hal-hal baik tentang diri mereka, mampu menentukan apa yang ingin mereka raih dengan tepat, menggunakan feedback dari orang lain sebagai masukan terhadap diri sendiri, mampu memaknai setiap pengalaman positif yang mereka miliki (Wood, Heimpel, & Michela, dikutip oleh Taylor, Peplau & Sears, 2006), serta mampu melakukan coping dengan baik saat menghadapi situasi sulit. Seorang individu dikatakan memiliki self-esteem yang rendah saat individu tersebut memiliki opini negatif mengenai diri sendiri secara keseluruhan, mengevaluasi dan menilai diri secara negatif, serta menempatkan nilai-nilai negatif pada diri sendiri (Lim, Saulsman, & Nathan, 2005). Mruk (2006) mengungkapkan bahwa self-esteem yang rendah ditandai dengan kurangnya perasaan berharga dan kompetensi. Depresi Rosenveld, Oei, dan Schmidt (2007), yang menjelaskan depresi sebagai suatu kondisi yang ditandai dengan adanya perubahan dalam diri seseorang dalam berbagai aspek. Pertama, terjadi perubahan dalam suasana hati, misalnya merasa tidak berharga. Kedua, terjadi perubahan dalam tingkah laku, misalnya mudah marah, menarik diri atau menghindari interaksi dengan orang lain. Ketiga, adanya perubahan dalam fungsi diri, misalnya sulit berpikir atau berkonsentrasi. Keempat, perubahan dalam kondisi fisik, seperti sulit tidur, terlalu banyak berpikir, atau terjadi perubahan dalam berat badan. Timbulnya depresi pada remaja memiliki kaitan yang erat dengan fase pubertas. Peningkatan kondisi depresi pada remaja berhubungan dengan faktor emosi dan kognitif yang merupakan faktor utama pada tahap perkembangan remaja. Secara emosional, remaja sudah mampu untuk mengalami peristiwa sedih dengan tingkat yang lebih intens dan mengingat peristiwa tersebut dalam jangka waktu yang lama. Secara kognitif, remaja mampu melakukan proses generalisasi mengenai diri mereka sendiri dan lingkungan mereka. Ketika seorang remaja memiliki konsep yang buruk tentang diri mereka dan lingkungannya, maka pemikiran negatif tersebut dapat digeneralisasikan pada masa depan mereka. Remaja dapat melakukan evaluasi secara sadar terhadap diri mereka sendiri dan membangun penilaian bahwa diri mereka tidak berdaya. Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 408 Kondisi depresi yang terjadi pada masa remaja juga dapat ditelaah berdasarkan teori kognitif yang diungkapkan oleh Beck (1987, 2002 dalam Kerig & Wenar, 2006). Teori kognitif dari Beck tersebut berpusat pada cognitive triad, yang terdiri dari atribut worthlessness (“I am no good”), helplessness (“There is nothing I can do about it”), dan hopelessness (“It always be this way”). Dimensi worthlessness berhubungan dengan rendahnya self-esteem atau kompetensi yang dimiliki oleh individu. Konsep self-efficacy berhubungan dengan dimensi helplessness. Self-efficacy merupakan keyakinan dalam diri seorang anak bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kondisi di sekitarnya dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Dimensi hopelessness berhubungan dengan teori mengenai causal attribution. Teori causal attribution menyebutkan tiga faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kondisi depresi, yaitu internal (“It is because of me”), stabil (“I will always be this way”), dan global (“Everything about me this way”). Pola atribut tersebut dapat berkembang dalam diri seseorang melalui pengalaman negatif yang dialami oleh individu pada masa kanak-kanaknya, misalnya peristiwa kehilangan yang traumatis, maltreatment, pola pengasuhan yang membangun perasaan bersalah pada diri anak, dukungan sosial yang rendah dari teman sebaya, serta kurangnya penerimaan kompetensi sosial yang menyebabkan timbulnya perasaan kesepian. Cognitive Behavior Therapy Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan intervensi yang bertujuan untuk memodifikasi pola pikir dan sistem belief seseorang dengan tujuan mengubah perilaku orang tersebut (Alford & Beck, dikutip oleh Beck, 2011). Penerapan program CBT bagi remaja tidak hanya mengadopsi konsep CBT bagi orang dewasa, tetapi juga turut memperhatikan aspek perkembangan kognitif usia remaja. Salah satu tujuan khusus penerapan CBT bagi remaja adalah membantu remaja untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tuntutan tugas perkembangannya. Stallard (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa komponen dasar dalam tahap pelaksanaan proses CBT. Komponen pertama adalah tahap psikoedukasi dan bertujuan membangun formulasi yang jelas mengenai CBT terkait dengan permasalahan yang dialami remaja. Komponen kedua merupakan tahap identifikasi, pengujian, dan menantang fungsi kognitif seseorang (identification, challenging, and testing of cognition). Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi disfungsi kognitif atau irrational belief dalam diri seseorang dan kemudian membantu individu yang bersangkutan untuk mempelajari cara berpikir yang lebih seimbang. Komponen selanjutnya merupakan tahap membangun keterampilan kognitif yang baru (developing new cognitive skill), yang bertujuan untuk membangun dan mendorong keterampilan tertentu serta berbagai strategi yang dapat membantu remaja dalam menghadapi masalahnya. Dalam program CBT, juga terdapat tahap pengelolaan emosi yang tidak menyenangkan (learning alternative ways to manage anxiety or unpleasant emotions), di mana individu belajar berbagai alternatif cara untuk mengelola berbagai emosi tidak menyenangkan yang dapat muncul dalam diriya. Komponen yang terakhir adalah tahap mempelajari perilaku yang baru (learning new behaviors). Dalam tahap ini, individu akan mencoba untuk melakukan berbagai alternatif perilaku baru jika dihadapkan dalam berbagai situasi yang tidak menyenangkan. M E T O D E P E N E L I T I A N Karakteristik partisipan. Penulis telah menetapkan beberapa kriteria dalam menentukan partisipan penelitian, yaitu: (a) partisipan penelitian adalah remaja perempuan, dengan batasan usia 11 hingga 20 tahun; (b) potensi kecerdasan Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 409 partisipan (yang dilihat dari nilai IQ) minimal berada dalam kategori rata-rata anak seusianya; dan (c) partisipan memiliki masalah self-esteem yang rendah dengan adanya gejala depresi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, dimana partisipan yang dipilih dalam penelitian ini adalah partisipan yang telah memenuhi kriteria penelitian (De Vos, Strydom, Fouché, & Delport, 2011). Partisipan diperoleh berdasarkan rekomendasi dari rekan seprofesi penulis. Instrumen penelitian. Proses pengambilan data pada penelitian ini dilakukan melalui teknik wawancara serta pengisian kuesioner. Proses pengambilan data melalui teknik wawancara dilakukan terhadap partisipan dan orangtua partisipan. Proses wawancara dilakukan berdasarkan panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh penulis dan menggunakan tape recorder sebagai alat perekam proses wawancara yang dilakukan. Sedangkan kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah Self Perception Profile for Adolescents dari Harter (2012), Children’s Depression Inventory (CDI) dari Kovacs (1992 dalam Widhiarso & Retnowati, 2011), dan Child Behavioral Checklist (CBCL). Skala Self Perception Profile for Adolescents merupakan sebuah alat ukur yang dikembangkan oleh Susan Harter (2012) dan dapat digunakan untuk melihat kondisi self-esteem pada remaja. Terdapat sembilan domain yang diukur dalam skala Self Perception Profile for Adolescents, yaitu kompetensi skolastik, kompetensi sosial, kompetensi atletik, penampilan fisik, kompetensi pekerjaan, daya tarik romantis, tingkah laku, pertemanan dekat, dan global self-worth. Jumlah item dalam tiap domain tersebut adalah lima item, sehingga secara keseluruhan, skala Self Perception Profile for Adolescents memiliki 45 item. Sistem penilaian terhadap tiap item dilakukan berdasarkan empat skala poin, yaitu nilai 1 yang mengindikasikan nilai terendah terhadap persepsi kompetensi yang dimiliki dan nilai 4 yang menggambarkan nilai tertinggi untuk suatu kompetensi. Faz (2014) telah melakukan uji reliabilitas dan validitas pada alat ukur Self Perception Profile for Adolescents. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, diketahui bahwa alat ukur tersebut dinyatakan valid dengan tingkat signifikansi 0,05. Namun, terdapat 6 item yang gugur dari keseluruhan 45 item. Item-item yang gugur terdapat pada domain daya tarik romantis, yaitu item nomor 15 dan 42; pada domain kompetensi pekerjaan, yaitu item nomor 23, 32, dan 41; serta pada domain tingkah laku, yaitu item nomor 34. Dari 39 item yang tersisa kemudian dilakukan uji reliabilitas dan diperoleh nilai reliabilitas sebesar rα: 0,812. Dengan demikian, skala Self Perception Profile for Adolescents dinyatakan memiliki reliabilitas. Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 410 Jumlah Item Skala Self Perception Profile for Adolescents Setelah Uji Validitas dan Reliabilitas Domain Nomor Item Jumlah Item Kompetensi Skolastik 1, 10, 19, 28, 37 5 Kompetensi Sosial 2, 11, 20, 29, 38 5 Kompetensi Atletik 3, 12, 21, 30, 39 5 Penampilan Fisik 4, 13, 22, 31, 40 5 Kompetensi Pekerjaan 5, 14 2 Daya Tarik Romantis 6, 24, 33 3 Tingkah Laku 7, 16, 25, 43 4 Pertemanan Dekat 8, 17, 26, 35, 44 5 Global Self-Worth 9, 18, 27, 36, 45 5 Total Item 39 Children’s Depression Inventory (CDI) merupakan salah satu alat ukur untuk mengungkap gejala depresi pada anak dan remaja dengan rentang usia 7 hingga 17 tahun (Widhiarso & Retnowati, 2011). CDI pertama kali dikembangkan oleh Maria Kovacs pada tahun 1985. Konsep pengembangan CDI dilakukan berdasarkan konsep pengukuran depresi pada orang dewasa dengan menggunakan Beck Depression Inventory (BDI). Alat ukur ini merupakan alat ukur yang berbentuk self-report yang mengacu pada berbagai gejala depresi yang dapat muncul pada anak dan remaja. Jumlah item dalam CDI terdiri dari 27 item, yang terbagi ke dalam lima dimensi, yaitu suasana hati negatif (negative mood), ketidakefektifan (ineffectiveness), kehilangan minat untuk melakukan kegiatan yang sebelumnya dianggap menyenangkan (anhedonia), harga diri negatif (negative self-esteem), dan masalah antar pribadi (interpersonal problems). Penilaian atau sistem skoring dalam CDI dilakukan dengan memberikan nilai 0, 1, atau 2. Semakin tinggi skor yang didapatkan pada sebuah item memperlihatkan tingkat depresi yang semakin tinggi. CDI menggunakan cut-off score sebesar 13 untuk menentukan ada atau tidaknya kondisi depresi pada diri seseorang, dan total skor di atas 20 menggambarkan kondisi depresi yang semakin signifikan. CDI sendiri telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia serta telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Widhiarso dan Retnowati (2011) menyebutkan bahwa nilai reliabilitas CDI diperoleh melalui teknik internal consistency dan diperoleh reliabilitas dengan α = 0,7135 (N=252). Sedangkan, uji validitas dilakukan dengan pengujian criteria validity antara CDI dengan BDI dan dihasilkan nilai rxy = 0,561. Jumlah Item Children’s Depression Inventory Domain Nomor Item Jumlah Item Contoh Item Negative Mood 1, 6, 8, 10, 11, 13 6 Saya selalu merasa sedih Ineffectiveness 3, 15, 23, 24 4 Saya sering melakukan kesalahan Anhedonia 4, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22 8 Tidak ada hal yang menyenangkan Negative Self-esteem 2, 7, 9, 14, 25 5 Saya merasa tidak pernah berhasil melakukan sesuatu Interpersonal Problems 5, 12, 26, 27 4 Saya sering bertengkar dengan orang lain Total Item 27 Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 411 Prosedur penelitian Pada tahapan awal penelitian, penulis menentukan topik yang ingin diteliti dan kemudian mencari penelitian lain atau teori yang relevan dengan topik yang akan diteliti. Penulis juga mencari alat tes yang dapat digunakan untuk mengukur self-esteem dan kondisi depresi dalam diri partisipan, serta mencari dasar mengenai teknik CBT yang akan diterapkan pada proses intervensi. Setelah itu, penulis mulai mencari partisipan yang memenuhi kriteria sebagai partisipan penelitian. Selanjutnya, penulis meminta izin kepada orangtua anak terlebih dahulu, dan meminta orangtua partisipan untuk bersedia mengikuti program intervensi yang telah dirancang oleh penulis. Penulis memberikan informed consent yang akan ditandatangani oleh orangtua partisipan yang menyatakan kesediaan mereka untuk mengizinkan anaknya mengikuti program intervensi, serta kesediaan orangtua untuk diwawancara oleh penulis. Setelah mendapatkan data-data yang diperlukan, barulah penulis mulai menjalin rapport dengan partisipan, melakukan assessment, pre-test, dan membuat jadwal sesi dengan partisipan. Program CBT yang dilaksanakan dalam penelitian ini terdiri dari 7 sesi dengan fokus pada aspek self- esteem yang rendah berdasarkan data yang diperoleh dengan skala Self Perception Profile for Adolescents. Penentuan jumlah sesi yang dilakukan mengacu konsep teori yang menyatakan bahwa dampak positif pada psikoterapi terjadi pada enam hingga delapan sesi pertama, namun akan menurun pada sesi kesepuluh (Smith et al. dikutip dalam Curwen, Palmer, & Ruddell, 2000). H A S I L D A N P E M B A H A S A N Proses intervensi dilakukan selama empat minggu, yaitu sejak tanggal 20 April 2015 hingga 11 Mei 2015. Jarak waktu antar sesi adalah 3 hingga 4 hari agar partisipan dapat menerapkan materi yang diberikan dalam sesi melalui pekerjaan rumah (homework). Durasi waktu pelaksanaan setiap sesi adalah 90 menit. Dalam setiap sesi, partisipan diberikan lembar kerja yang berhubungan dengan materi yang diberikan. Selama proses intervensi berlangsung, partisipan terkadang menemui hambatan dalam pengisian lembar kerja. Kondisi ini berhubungan dengan mood partisipan yang mudah berubah, terutama saat membicarakan lebih jauh mengenai masalah yang dihadapi partisipan. Namun, partisipan tetap memperlihatkan upaya untuk menyelesaikan proses intervensi. Penulis perlu secara terus-menerus mengingatkan partisipan mengenai motivasi dirinya untuk mengikuti sesi intervensi yang berlangsung. Materi yang diberikan kepada partisipan dalam setiap sesi dapat dilihat dalam tabel berikut. Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 412 Program Intervensi Sesi Program CBT Tujuan 1 Introduction Menjelaskan gambaran proses treatment. Partisipan memahami mengenai konsep CBT. Partisipan memahami mengenai aspek yang menjadi fokus treatment. Mood monitoring Membantu partisipan memahami perasaannya dalam berbagai situasi sehari-hari. 2 Automatic thought record Partisipan mengidentifikasi pikiran, perasaan, dan perilaku dalam situasi yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Partisipan dapat mendeteksi core beliefs dalam dirinya. 3 Cognitive restructuring Partisipan memahami bentuk distorsi kognitif dan dampak negatifnya terhadap emosi dan perilaku. 4 Relaxation Skill Partisipan memperoleh keterampilan relaksasi dengan teknik pernapasan dan imageri/visualisasi. Pleasant activity Partisipan memahami manfaat dari melakukan kegiatan yang menyenangkan bagi dirinya. 5 Positive quality in me Partisipan mengidentifikasi kualitas atau potensi positif dalam dirinya. 6 Problem Solving Skill Partisipan dapat mengidentifikasi masalah yang dialami dan menemukan solusi. 7 Relapse Prevention Partisipan mengetahui apa yang dapat dilakukannya jika low self-esteem muncul kembali dalam dirinya. Mengakhiri sesi Meninjau keterampilan apa yang telah dipelajari partisipan dan mendukung partisipan untuk memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi berbagai situasi. Hasil post-test setelah proses CBT berakhir, diketahui bahwa partisipan mengalami peningkatan self- esteem dalam dirinya. Kondisi tersebut dapat terlihat dari perubahan skor pada skala Self Perception Profile for Adolescents yang diambil sebelum dan setelah proses CBT. Pada grafik terlihat bahwa sebelum proses CBT dilakukan, domain global self-worth partisipan berada pada kategori rendah dengan skor 1,8. Rendahnya self-esteem pada diri partisipan juga dapat dipengaruhi adanya persepsi negatif dalam beberapa domain kompetensi pada skala Self Perception Profile for Adolescents, yaitu kompetensi sosial (1,8), kompetensi atletik (1,2), daya tarik romantis (1,67), dan pertemanan dekat (1,6). Setelah proses CBT dilakukan, diketahui bahwa partisipan mengalami perubahan pada self-esteem dalam dirinya, yang terlihat dari peningkatan skor pada domain global self-worth. Setelah proses CBT dilakukan, skor domain global self-worth yang sebelumnya berada pada kategori rendah, mengalami peningkatan sehingga termasuk dalam kategori sedang (2,6). Selain itu, persepsi partisipan terhadap beberapa domain kompetensi lain juga mengalami peningkatan, seperti kompetensi skolastik (3,2), kompetensi sosial (3,4), kompetensi atletik (3,2), penampilan fisik (2,4), dan pertemanan dekat (2,4). Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 413 Grafik Perubahan Skor Skala Self Perception Profile for Adolescents Perubahan kondisi depresi pada diri partisipan juga dapat terlihat dengan membandingkan skor yang diperoleh pada alat ukur Children’s Depression Inventory (CDI) sebelum dan sesudah proses CBT dilakukan. Sebelum proses CBT dilakukan, partisipan mendapat total skor 15, yang mengindikasikan adanya gejala depresi pada diri partisipan. Namun, setelah proses CBT dilakukan, terjadi penurunan pada skor yang diperoleh partisipan, yaitu 8, yang berarti bahwa gejala kondisi depresi sudah tidak ditemukan pada diri partisipan. Selain itu, domain anhedonia dan negative self-esteem yang sebelumnya juga terlihat mendapat skor tinggi sebelum proses terapi dilakukan, memperlihatkan adanya penurunan skor pada saat post-test dilakukan. Domain interpersonal problems pun memperlihatkan adanya penurunan skor pada hasil post-test. Namun, terdapat domain yang tidak mengalami perubahan, yaitu skor negative mood, tetapi skor ini masih tergolong dalam kategori normal. Domain ineffectiveness juga memperlihatkan peningkatan, tetapi hal ini bukanlah merupakan hal yang signifikan dan masih berada dalam kategori normal. 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 Pre-test Post-test Keterangan Rentang Nilai : 1-4 Tinggi : >3-4 Sedang : 2-3 Rendah : 1- <2 Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 414 Grafik Perubahan Skor Children’s Depression Inventory (CDI) S I M P U L A N Hasil analisis data yang dilakukan memperlihatkan bahwa penerapan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang dilakukan dalam penelitian ini efektif untuk meningkatkan self-esteem pada remaja yang memiliki gejala depresi. Pada pengukuran pre-test, tingkat self-esteem partisipan berada pada tingkat rendah (skor: 1.8) mengalami peningkatan termasuk dalam tingkat sedang atau rata-rata (skor: 2.6). Proses terapi yang dilakukan selama tujuh sesi dengan durasi 90 menit dapat membantu partisipan untuk mengenali berbagai pikiran negatif yang ada dalam dirinya, serta menemukan strategi yang tepat untuk dapat mengubah pikiran negatif tersebut menjadi lebih positif. Selain itu, proses terapi CBT juga berhasil membantu partisipan menemukan kekuatan dalam dirinya, sehingga partisipan memiliki penilaian atau evaluasi yang positif pula terhadap kemampuan dalam dirinya. Seiring dengan meningkatnya self-esteem dalam diri partisipan, penerapan CBT juga terbukti dapat menurunkan gejala depresi dalam diri partisipan. Kondisi ini dapat terlihat melalui perbandingan antara hasil pre-test dan post-test melalui alat tes Children Depression Inventory (CDI) dan pengukuran CBCL. Sebelum proses intervensi, partisipan mendapat skor total sebesar 15 pada alat ukur CDI, yang menandakan adanya gejala depresi pada partisipan pada kategori ringan. Setelah intervensi dilakukan, skor total CDI mengalami penurunan dengan skor 8, yang menandakan partisipan sudah tidak mengalami kondisi depresi. Hasil CBCL juga memperlihatkan perubahan dalam skor domain depresi, walaupun perubahan tersebut tidak signifikan. D A F T A R P U S T A K A American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.) Text revision. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing. 0 1 2 3 4 5 6 7 Pre-test Post-test Skor total Pre-test: 15 Post-test: 8 Skor total Pre-test : 15 Post-test : 8 Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 415 Ansari, B. & Qureshi, S. S. (2013). Parental acceptance and rejection in relation with self esteem in adolescents. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research In, 4(11), 552-557. Arjadi, R. (2012). Terapi kognitif-perilaku untuk menangani depresi pada lanjut usia. Tesis tidak diterbitkan, Magister Profesi Klinis Dewasa, Universitas Indonesia, Depok. Beck, J. S. (2011). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond. New York, NY: The Guilford Press. Brent, D. A., Holder, D., Kolko, D., Birmaher, B., Baugher, M., Roth, C., & Johnson, B. (1997). A clinical psychotherapy trial for adolescent depression comparing cognitive, family, and supportive treatments. Archieves of General Psychiatry, 54, 877-885. Butler, A. C., Chapman, J. E., Forman, E. M., Beck, A. T. (2006). The empirical status of cognitive- behavioral therapy: A review of meta-analyses. Clinical Psychology Review, 26, 17-31. Creemers, D. H. M., Scholte, R. H. J., Engels, R. C. M. E., Prinstein, M. J., & Wiers, R. W. (2012). Implicit and explicit self-esteem as concurrent predictors of suicidal ideation, depressive symptoms, dan loneliness. Journal of Behavior Therapy and Experimental Psychiatry, 43, 638-646. Curwen, B., Palmer, S., & Rudell, P. (2000). Brief cognitive behavior therapy. London, UK: Sage Publications. De Vos, AS., Strydom, H., Fouché, CB., & Delport, CSL. (2011). Research at grass roots (4th ed.). Pretoria: Van Schaik Publishers. Faz, G. O. (2014). Penerapan cognitive behavioral therapy untuk meningkatkan self esteem rendah pada remaja putra dengan perilaku menarik diri. Tesis tidak diterbitkan, Magister Profesi Psikologi Klinis Anak, Universitas Indonesia, Depok. Harrington, R. (2005). Depressive disorder. Dalam P. Graham (Ed.), Cognitive behavior therapy for children and family (pp. 263-280). New York, NY: Cambridge University Press. Harter, S. (2012). Self-perception profile for adolescents: Manual and questionnaire. Denver, CO: Department of Developmental Psychology, University of Denver. Kerig, P.K. & Wenar, C. (2006). Developmental psychopathology:From infancy through adolescence (5th ed.). New York: McGraw-Hill. Lim, L., Saulsman, L., & Nathan, P. (2005). Improving self-esteem. Perth, Western Australia: Centre for Clinical Interventions. Mehler-Wex, C. & Kölch, M. (2008). Depression in children and adolescents. Deutsches Arzteblatt International, 105(9), 144-155. Mruk, C. J. (2006). Self-esteem research, theory, and practice: Toward a positive psychology of self-esteem (3rd ed.). New York, NY: Springer Publishing Company. Ormel, J., Oldenhinkel, A. J., Ferdinand, R. F., Hartman, C. A., De Winter, A. F., Veenstra, R., Vollebergh, W., Minderaa, R. B., Buitelaar, J. K., & Verhulst, F. C. (2005). Internalizing and externalizing problems in adolescence: General and dimension-spesific effects of family loadings and presdolescent temperament traits. Psychological Medicine, 35, 1825-1835. Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8 416 Orth, U., Robins, R. W., & Roberts, B. W. (2008). Low self-esteem prospectively predicts depression in adolescence and young adulthood. Journal of Personality and Social Psychology, 95(3), 695-708. Rosenvald, T., Oei, T. P. S., & Schimdt, M. (2007). Fight your dark shadow: managing depression with cognitive behavior therapy (I. Saraswati, trans.). Brisbane: Depression Managed. Santrock, J. W. (2012). Adolescence (14th ed.). New York, NY: McGraw-Hill. Santrock, J. W. (2009). Life-span development (12th ed.). New York, NY: McGraw-Hill. Stallard, P. (2005). A clinician’s guide to think good-feel good: Using CBT with children and young people. Chichester: Wiley. Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2006). Social psychology (12th ed.). New Jersey, NJ: Pearson Prentice Hall. Weersing, V. R., Iyengar, S., Kolko, D. J., Birmaher, B., & Brent, D. A. (2006). Effectiveness of cognitive- behavioral therapy for adolescent depression: A benchmarking investigation. Behavior Therapy, 37, 36-48. Widhiarso, W. & Retnowati, S. (2011). Investigasi butir bias jender dalam pengukuran depresi melalui children’s depression inventory (CDI). Jurnal Penelitian Psikologi, 2(1).